Usia 6 Tahun
“Kata gurunya, dia masih sulit menulis abjad A, B, C, D,” kata Zenna di kasur menjelang mereka tidur.
“Tapi membaca bisa, kan?” tanya Asrul.
“Bisa.”
“Kemajuan itu. Dulu aku kelas 1 SD tak bisa membaca, tak bisa menulis. Artinya anak kita lebih hebat.”
Mereka menahan tawa, takut Joven terbangun. Ia tidur di lantai dengan selembar kasur tipis, di kamar yang sama, di rumah petak ini.
Besoknya, Zenna membangunkan Joven lebih pagi. Ia buka buku kosong, ia ambil pensil dan merautnya.
“Sini.” Ia memapah tangan Joven. Menggenggamnya dengan hangat. “A besar.”
Dalam keadaan setengah mengantuk, Joven tuntas mencoret huruf A besar itu. Zenna melanjutkan dengan a kecil, B besar, b kecil. Begitu terus, hingga huruf Z. Pelajaran itu terus mereka ulang-ulang hingga dua minggu kemudian.
Begitu hendak pergi sekolah, Zenna menghidangkan sepiring nasi dan dua potong ikan kecil-kecil.
“Ini namanya ikan pintar. Kalau kamu makan, kamu jadi pintar!”
Joven yang awalnya malas sarapan, mendengar itu langsung seperti gladiator. Dua ikan pintar tandas jadi mangsanya.
Waktu terima rapor pun tiba.
“Sekarang sudah bisa menulis,” kata Ibu Tas, guru kelas 1 Joven. “Meski masih patah-patah, masih belum terlalu rapi, dia sudah bisa. Tetap layak naik kelas.”
Sampai di rumah, Zenna memperlihatkan rapor itu pada Asrul. Nomor 35 dari 36.
“Nah apa aku bilang? Kemajuan! Dia tidak peringkat buntut seperti aku! Tidak juga tinggal kelas. Hebat dia!” celetuk Asrul menahan tawa.
Zenna masih tak terima. Zenna seorang guru. Dari kecil ia sering juara kelas. Sejak kelas dua, ia lebih intens membantu Joven belajar di rumah.
“Peringkat 4!” Tulisan di rapor itu, saat kelas 2 SD.
Usia 8 Tahun
Semua murid mengumpulkan bukunya ke depan. Sang guru tampak murka ketika membuka buku PR Joven. Tulisan tangan anak yang satu ini sangat hancur.
“Maju kamu!” teriak si guru.
Joven menahan tangis dan sesak di dadanya. Ia tak pernah kena hukum seumur hidupnya, oleh siapa pun. Kali ini, sang guru memanggilnya ke depan kelas, memakinya di depan teman-teman.
“Lihatlah ini, seperti cakar ayam! Tak bisa dibaca! Tulisan apa ini!” Guru itu memberi angka 3 untuk nilai kerapian. Angka 4 untuk kreativitas. Lalu melempar buku itu ke lantai.
Joven yang sudah sangat sesak di dada, berusaha mengambil buku itu. Malu, sedih, takut, ia tahan-tahan. Dunianya runtuh. Kalimat guru itu kelak ia ingat persis hingga Joven dewasa. Menunduk malu Joven menuju kursinya.
“Eh, eh, ke mana? Kembali ke sini!” teriak guru itu lagi. “Berdiri di sana!”
Bibir Joven sudah bergetar-getar, ia masih menahan tangisnya.
“Berdiri di sana cepat! Angkat satu kaki! Tarik kedua telingamu dengan tangan sendiri! SAMPAI JAM PULANG SEKOLAH!”
Joven sudah tak kuat. Ia paksa-paksakan agar air mata itu tak menetes. Sebuah gempa dahsyat terjadi di hatinya hari itu.
“Bisa menulis, tidak? Buruk sekali tulisanmu! Tak terbaca pula!” Guru itu mengelilingi Joven, sambil terus memarahi.
“Tak ada orang nilai kerapian tulisan tiga sepanjang sekolah ini berdiri! Tak ada juga yang kreativitasnya empat!” Guru itu mengambil potongan kapur yang sudah tak bisa dipakai, lalu melemparnya ke tubuh Joven. “BISA MENULIS, TIDAK! CERITANYA JUGA BURUK SEKALI! HARUS DIMULAI DENGAN PADA SUATU HARI, BODOH!”
Gempa besar di hati Joven tadi berubah jadi monster yang sangat mengerikan. Kapur itu terus dilempar, bertubi-tubi.
“Cerita apa ini, hei Joven? Cobalah kau jelaskan pada saya!” bentak guru itu berkali-kali. Sang guru lalu membuka kembali buku Joven, ia paksa-paksakan membaca.
“Kilau, anak perempuan itu terkena setrum level tinggi. Anehnya, tubuh Kilau malah menyala kebiruan. Cerita busuk macam apa ini?”
Saat Joven pulang tak satu pun temannya yang berani dekat-dekat dengannya. Sampai di rumah, bekas-bekas kapur di celana jadi pertanyaan Zenna. Joven kecil berusaha menyembunyikan kejadian hari itu. Sore, malam, hingga besoknya, ia terus menghindar menceritakan apa yang terjadi. Namun naluri sang ibu sangatlah kuat.
“Kenapa, Nak?” tanya Zenna suatu sore.
Biasanya Joven sangat antusias menunggu gerobak sate yang berjualan. Namun tidak sore itu, ia terduduk di belakang parit, melihat teman-temannya asik bermain kelereng. Tak sempat menjawab apa-apa, Joven langsung meraung. Semua kejadian, detik per detik di kelas itu, ia ingat betul.
Zenna langsung memeluk Joven, membawanya pulang.
Pada akhir pekan, Asrul mengajak Joven pergi.
“Ini namanya Gramedia. Toko buku. Kamu pilih 2 buku, terserah.”
Siang itu, Joven berkenalan dengan surga imajinasi dan pengetahuan. Ia memilih buku tentang antariksa dan Buku Pintar. Bulan depannya, buku cerita nabi, dan buku kumpulan cerpen karya A.A. Navis. Bulan ketiga, keempat, kelima, makin banyak bacaan Joven.
Di akhir tahun ajaran, saat hendak naik kelas empat, tulisan tangan Joven masih saja buruk, begitu juga ceritanya. Menurut gurunya. Nilai bahasa Indonesianya 5. Terancam tidak naik kelas.
Asrul datang ke sekolah itu. Selain guru yang tempo hari menghukum Joven, ada juga kepala sekolah di sana.
“Tak masalah kalau dia tak naik kelas, tak masalah kalau sekolah ini bilang cerita yang Joven tulis jelek.” Asrul mengeluarkan sebuah buletin. Itu sebuah buletin anak-anak, sangat terkenal se-Indonesia.
Asrul membukanya, memperlihatkan rubrik cerita kiriman pembaca.
“Tak masalah, sungguh! Sayangnya menurut buletin terkenal ini, justru sebaliknya. Tulisan Joven cukup layak untuk dimuat.”
Guru-guru yang menyaksikan itu kaget. Mata mereka membesar, tak terkecuali sang guru yang tempo hari memberi label cakar ayam pada tulisan Joven. Ia pun berlangganan buletin itu, untuk anak-anaknya di rumah.
“Anggaplah Anda sudah lebih hebat dari para sastrawan dan redaktur senior di buletin ini. Kalau sudah lebih hebat, maka silakan beri dia nilai 5, silakan dia tinggal kelas.”
Hening, hening, dan hening. Padahal Asrul tak membentak, benar-benar dengan nada pelan saja dari tadi.
Hasilnya, Joven naik kelas. Nilainya jadi 6. Standar minimal untuk naik kelas. Tapi di hati Asrul dan Zenna, nilainya sejuta miliar.
Usia 10 Tahun.
“Ayo kita buat sekolah menulis untuk anak-anak,” usul Asrul pada rekannya. Namanya Rizal.
“Ayolah! Siapa yang mengajar?” tanya Rizal.
“Ya kita berdua. Buat dua kelas.”
Mereka membuatnya, di sebuah ruko kecil. Pesertanya anak-anak dari teman, anak-anak dari rekan yang mereka kenal. Tak terkecuali Joven dan adiknya.
“Aduh, aku malu kalau harus ikut kelas yang Ayah ajar,” kata Joven. “Lagi pula aku tak mau ikut sekolah-sekolah menulis ini. Lebih baik hari Minggu main layang-layang atau main bola di sungai.
“Aku juga malas!” Adiknya mengangguk. “Malu juga kalau ayah sendiri yang mengajar.”
Akhirnya mereka berdua masuk ke kelas Rizal. Hanya dua pertemuan mereka sanggup ikut. Di pertemuan ketiga, tidak ikut lagi. Anak-anak lain masih semangat belajar pada Asrul dan Rizal.
Satu waktu, Joven dan adiknya punya ide. “Kita punya cukup banyak buku. Bagaimana kalau kita buat perpustakaan, lalu kita rental buku-bukunya?” usul Joven.
“Aku setuju! Kita beri namanya SEJOLI. Seruni, Joven, Library! Seratus rupiah satu buku untuk tiga hari peminjaman. Uangnya untuk beli permen karet!”
Joven mencongkel celengannya. Bersepeda, mereka pergi tanpa ketahuan Asrul dan Zenna. Pergi jauh sekali.
“Bang, bisa cetak stempel, Bang?” tanya Joven.
“Bisalah. Ini kan memang tempat menyetak stempel!” jawab orang itu.
“Berapa, Bang?” tanya Seruni.
“Tergantung apa yang kalian mau buat. Kalau kecil, sepuluh ribu. Kalau agak besar, dua puluh ribu. Kalau besar sekali, tiga puluh ribu.”
“Yang kecil saja, Bang. Tulisannya SEJOLI. Seruni, Joven, Library.” Joven mengeluarkan uang mereka.
Sampai di rumah, semua buku itu mereka stempel. Mulailah mereka mempromosikan pada teman-teman di perkampungan itu. Joven jadi tukang panggil-panggil, Seruni tukang catat-catat dan menerima uang.
Anak-anak kampung sangat antusias. Buku di perpustakaan mereka tak ada yang bagus, tak ada yang baru. Semuanya buku lawas.
Kini anak-anak itu punya rutinitas baru. Meminjam novel, komik, buku bacaan yang bergizi. Mulai dari Buku Pintar, kisah para penemu dunia, buku sejarah para pendiri bangsa, macam-macam.
“Nah kalau hebat bercerita itu mungkin darahmu,” kata Zenna pada Asrul. “Tapi kalau berdagang, itu jelas darahku.” Ia memuji dirinya sendiri.
Kini, Joven dan Seruni jadi punya uang jajan lebih. Biasanya, mereka hanya dapat uang 100 rupiah. Hanya bisa untuk beli tiga permen. Sekarang bisa beli tiga permen dan satu ciki-ciki.
Usia 16 Tahun
Joven remaja tengah mabuk cinta. Tapi semabuk-mabuknya, ia simpan saja di hati. Ada yang lebih mabuk darinya; sahabatnya sendiri. Namanya Romi.
Di sekolah, Joven dipanggil Dajov. Sementara Romi, dipanggil Darom. Dua orang ini adalah granat yang setiap hari meledak, mengganggu ketenteraman sekolah. Tak ada guru yang sanggup lagi membinasakan tingkah usil mereka.
“OI, DAJOVVV!” Romi berteriak dari lantai dasar. Sengaja ia berteriak di waktu jam pelajaran. Satu sekolahan melihatnya, tak terkecuali guru-guru.
Dari lantai tiga, Joven pun menyahut. “OIII, DAROMMMM.”
Sekeliling sekolah langsung melihat ke arah lapangan.
“Surat cintaku sudah jadi iniii!” teriak Romi. “Mau waang revisi tidakkk?”
“Eaaa, hebat kau! Tapi tak ada yang tanya!” balas Joven berteriak. “Tak usahlah revisi-revisi.”
“Aku antar sekarang langsung ya?” teriak Romi lagi. Satu sekolahan makin berkerumun di jendela kelas masing-masing mendengarkan percakpan jarak jauh mereka berdua.
Romi berjalan petantang-petenteng, ke kelas pujaan hatinya. Di kelas itu, sedang ada guru yang mengajar. Senyumnya lebar, lesung pipitnya menambah ketampanan. Gara-gara itu, sang guru muda pun ikut terpesona. Romi meletakkan surat cinta itu di atas meja sang pujaan hati. Satu kelas riuh. Gadis itu bercampur perasaannya antara meleleh dan malu. Namun jauh lebih besar rasa malunya.
“Mau tidak diaaa?” teriak Joven lagi.
“MAUUUU!” balas Romi.
Besoknya, orangtua Romi dan Joven dipanggil ke sekolah. Guru-guru sudah menyerah pada dua remaja ini.
Mereka dapat skorsing. Tak boleh sekolah seminggu. Sementara itu, di tempat persembunyian mereka, Dajov dan Darom tertawa-tawa lepas.
“Eh waang kan bisa menulis, aku pun baru-baru ini bisa. Kalau kita tulis cerpen, kita kirim ke koran, ada dapat uang? Lumayan, buat pergi kencan,” tanya Romi.
“Entahlah, tak pernah pula aku mencoba.” Joven menggeleng.
“Haaa, kita libur seminggu. Kita tulis saja banyak-banyak!”
Mereka pun datang ke kantor Asrul.
“Aduh, ini dua preman pasar! Kalau berteriak-teriak kalian di sini, aden masukkan ke mesin kertas itu ya!” Bentak Asrul, antara marah, kesal, dan tak habis pikir.
“Ayah,” kata Darom, memanggil ayah Joven pun dengan sebutan Ayah. “Kami pinjam komputer yang tak terpakai boleh? Yang rusak juga tak masalah.”
“Buat apa? Hah? Itu tanya saja ke sana,” Asrul menunjuk satu ruangan. “Jangan kalian pecahkan pula kantor ini ya! Periuk beras ini!”
Darom dan Dajov langsung berpose seperti tentara hormat.
Sehari, dua hari, tiga hari, sampai hari ketujuh, mereka terus menulis sembarang tulisan. Dari cerita perang-perangan, cerita monyet jatuh cinta sama kerbau, cerita biskuit yang ngobrol sesama biskuit, permen dan makanan ringan di rak warung, dan cerita sok-sok keren lainnya. Bahkan cerita kumis pak kepala sekolah pun mereka buat. Bahwa, di dalam kumis pak kepsek itu, ada peradaban makhluk seukuran kuman yang membangun kerajaan. Mereka yang mengendalikan otak sang kepsek sehingga suka marah-marah ke siswa.
“Jelek sekali rupanya tulisan kita,” canda Darom.
“Iya.” Joven lepas tawanya.
Tulisan itu mereka biarkan saja di komputer usang, sampai entah kapan. Tak pernah mereka sentuh lagi.
Seminggu masa skorsing habis, mereka kembali masuk sekolah. Darom langsung menerima surat balasan dari pujaan hatinya. Gadis cantik itu menerima cintanya.
Usia 18 Tahun
UGM tidak lulus.
Unpad tidak juga.
Tinggal peluang dua ujian lagi. Satunya ujian masuk Universitas Indonesia. Satunya Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi.
“Padahal sudah banyak belajar, tapi tidak juga diterima. Bagaimana ini ya?” Joven merunduk kaku. Ia bertanya pada dirinya sendiri.
“Ya waang pakak. Kita berdua pakak. Anak IPS, anak buangan,” canda Romi.
Tiga hari setelah itu, Asrul masuk rumah sakit. Sepanjang hidupnya, tak pernah Asrul sakit parah. Baru kali ini, selang-selang masuk ke tubuhnya. Lewat nadi, lewat hidung.
“Mungkin Ayahku sakit karena aku tak dapat-dapat juga tempat kuliah,” pikir Joven. Darom tak bisa berbicara apa-apa. Ia hanya memukul kecil pundak sahabatnya itu. Joven dari balik kaca menyaksikan Ayahnya terbaring, seakan terakhir kali melihat ayahnya.
Perasaan takut ternyata tak hadir sendirian di depan ruang rawat inap itu. Ada kembarannya; perasaan semangat yang membuncah.
Joven sangat suka komik Dragon Ball. Ada satu adegan ketika musuh bernama Frieza membunuh Krillin dengan entengnya. Krillin adalah sahabat baik Son Goku, tokoh utama dari komik itu. Saat melihat kejadian itu, Son Goku tiba-tiba mendapat semangat, mengamuk, dan berubah wujud menjadi manusia Super Saiyan. Ia mendapat kekuatan ratusan kali lipat. Tadinya Frieza melumat Son Goku bertubi-tubi, sejak menjadi Super Saiyan, Songoku tiba-tiba mudah saja mengalahkan Frieza. Seperti menjentik nyamuk nakal.
Maka, kejadian di rumah sakit ini, Joven serasa menjadi Son Goku. Bisa jadi, ini adalah terakhir kali ia akan melihat Ayahnya. Ia pun berubah menjadi manusia Super Saiyan dan kekuatan itu ia bawa ke ruangan ujian.
Benar saja, saat pengumuman, Joven membuka situs penerimaan. SELAMAT, ANDA DITERIMA MENJADI MAHASISWA UNIVERSITAS INDONESIA!
Joven melompat, menangis, sujud syukur, berlari-lari kecil di kamarnya. Ia bergegas ke rumah sakit, memperlihatkan pada Asrul. Entah obat apa, dua hari setelah itu, Asrul langsung sehat. Dokter mengizinkannya pulang.
Usia 20 Tahun
“Ikut?” Seorang teman kuliah memperlihatkan pengumuman lomba menulis novel pada Joven. Rambut panjangnya terurai. Mata hitamnya mengilap.
“Aduh, ini PR statistika aja gak tuntas-tuntas. Belum lagi makroekonomi yang kurva-kurva bikin pusing itu. Lo malah nyuruh gue ikut lomba nulis novel.” Joven mengelak.
“Ya ikut aja, kan itu ada naskah yang dari lama sudah pernah lo tulis.”
Joven pun terpaksa mengiakan. Ia menyertakan tulisan itu pada panitia lomba.
Tentu saja, tidak menang. Masuk seratus besar saja tidak.
“Ah, tak masalah. Ada banyak cara supaya tulisan ini dibaca orang.” Teman Joven tadi, mencetak tulisan Joven dua rangkap. Ia letakkan di lemari, di ruangan organisasi kampus tempat mereka bernaung.
“Nanti akan ada waktunya cerita ini dibaca jutaan orang!” Tekad si rambut panjang mata hitam.
Beberapa waktu setelah itu.
“Wah ini kan alumni organisasi kita. Tere Liye, Tere Liye ini. Ayo kita datang ke seminarnya!”
“Aduh, aneh banget namanya? Teler Iye? Teler Iye Mabok Kagak?” canda Joven. “Di mana?”
“Di sebelah, Fakultas Ilmu Budaya. Ayok!” Ia menarik tangan Joven.
“Kok ya ada alumni Fakultas Ekonomi UI nulis novel? Bukannya nulis jurnal atau apa kek,” kata Joven. “Kurang kerjaan banget itu Teler Iye, Teler Iye itu.”
Peserta seminar itu berjubel. Ratusan orang. Joven menyelinap-nyelinap malas. Kalau bukan karena teman-temannya, ia takkan ikut.
“Bang, kami dari Economica!”
Mendengar kata itu, telinga sang penulis langsung tegak. Para pembacanya sedang mengerubunginya, tapi ia langsung menghampiri Joven dan kawan-kawan.
“Kalian anak Economica? Habis ini ikut saya ya.”
Mereka semua mengangguk.
Setelah bala-bala Tere Liye bubar, ia pun mendekati Joven dan kawan-kawan. “Ayo, temenin gue. Kita nostalgia ke ruangan Economica.”
Mereka ngobrol akrab, sampailah ke sebuah topik.
“Sayang sekali Mas Karnoe sudah meninggal dunia,” kata Tere Liye. “Mas Karnoe itu meski office boy, meski kerjaannya bikinin anak-anak Economica teh hangat, meski cuma main karambol sore-sore dengan kita, dia itu seakan Dumbledore-nya Economica. Yaaa, kalau di Manchester United kaya Sir Alex Ferguson gitulah. Yang menghubungkan antargenerasi, dari zaman Bu Sri Mulyani masih mahasiswa, sampai zaman gue, sampai kalian sekarang ini.”
Joven yang dari tadi diam saja, tak banyak ngobrol, akhirnya angkat bicara.
“Nah, dia ini nulis tentang Mas Karnoe, Bang.” Seorang teman menunjuk ke arah Joven.
“Wow, lo nulis novel juga?”
“Iya, Bang.” Joven berjalan cepat, ke sebelah Tere Liye karena didorong temannya.
“Ini, Bang.” Seorang yang lain menyodorkan naskah itu, naskah yang hanya dicetak di abang fotokopi belakang rel.
“Sini, gue baca.”
Satu halaman saja, Tere Liye langsung mengembalikan naskah itu. “Terbitkanlah, apa masalahnya?” Alisnya naik sebelah, jidatnya mengkerut.
“Itulah, Bang. Sudah pernah ikut lomba, tapi kalah,” jawab Joven.
“Bantuin dong, Bang, ke penerbit,” sela seorang teman Joven.
“Oh tidak bisa. Di situ seninya. Di situ lo berjuangnya, Joven. Lo harus rasakan itu, nganterin naskah, kena tolak, revisi bolak-balik. Itu justru jadi cerita yang lebih manis.”
Joven dan kawan-kawan tak menyangka akan mendengar jawaban itu. Mereka kira, punya orang dalam berupa senior dan penulis terkenal akan sangat membantu. Rupanya tidak sama sekali.
Mereka pun sampai di depan ruangan Economica. Tak lama bernostalgia, Tere Liye pergi. Mencari teman-temannya yang kini sudah menjadi dosen.
“Bang,” Joven berteriak.
Tere Liye yang sudah tampak punggung, membalikkan badannya.
“Nanti gue akan jadi penulis sekeren elo!” teriaknya.
Tere Liye tersenyum kecut. Ia menggeleng. “Janganlah. Kalau bisa, ya lebih keren lagi, Joven.” Ia mengangkat tinjunya ke udara.
Usia 22 Tahun
Joven melupakan naskah itu.
Di semester ketujuh, rupanya ia gagal satu mata kuliah. Mau tak mau, ia harus ambil lagi di semester sembilan. Mengulang. Mau tak mau, ia harus lulus terlambat.
Semester delapan Joven hanya mengerjakan skripsi. Karena semi pengangguran, ia jadi ingat naskah tentang Mas Karnoe. Setelah pontang-panting mengedit novel tentang Mas Karnoe, bolak-balik ketuk pintu berbagai penerbit, akhirnya ada yang menerima naskah itu.
Novel itu terbit, Asrul dan Zenna hadir ke acara peluncurannya. Jika matahari terbit terang benderang, maka lebih terang rasa bangga Asrul dan Zenna. Masalahnya, novel itu tak laris. Sebulan, dua bulan, Sedikit sekali yang baca. Dari yang sedikit itu, Zenna yang banyak membelinya untuk ia bagikan pada kawan-kawan dan siswanya. Hingga sepuluh tahun kemudian, novel berjudul Karnoe itu masih tak habis cetakan pertamanya.
Namun, dari sedikit orang yang membeli novel itu, ada satu orang yang sangat mengaguminya. Namanya Alfatih Timur, panggilannya Timmy, dia senior Joven di kampus. Dia juga asisten pribadi seorang guru besar di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Sang guru besar itu juga pakar kenamaan di negeri ini. Menteri, pejabat-pejabat, presiden, para petinggi perusahaan, punya rasa segan pada sang guru besar ini. Setiap minggu, ia juga bolak-balik muncul di TV.
Timmy pun mengantarkan novel Karnoe karya Joven itu ke sang guru besar. Di meja tertulis namanya, Rhenald Kasali.
“Pak, ini ada dulu mahasiswa Bapak. Dia menulis novel.”
“Oh wow? Anak ekonomi manajemen? Menulis novel?” Rhenald Kasali membuka halaman pertama.
“Economica? Saya dulu kan ikut organisasi ini juga waktu masih mahasiswa.” Sang profesor meninggalkan pekerjaannya. Ia bolak-balik membaca novel itu dengan antusias. Halaman demi halaman, seperti menyedotnya ke masa muda.
“Panggil dia ke sini besok!”
Timmy mengangguk.
Besoknya, Joven datang menghadap. Ia tak tahu dalam rangka apa.
“Bang Timmy, kan beliau bukan dosen pembimbing skripsi gue. Kenapa gue dipanggil ya? Kena marah, apa gimana?”
Dari semalam, Joven menerka-nerka, dia buat salah apa?
“Udah, lo lihat aja nanti.”
Joven pun masuk, sendirian. Ruangan kerja sang profesor sangat bersahaja. Kacanya besar-besar. Tumbuhan memenuhi sisi luar jendelanya. Wangi ruangan itu khas dan menenangkan. Kaki Joven yang gemetar, lenyap seketika saat sang profesor tersenyum dan berdiri, lalu menjulurkan tangannya.
“Joven?”
“I… iya, Pak.” Joven pun melirik ke atas meja, rupanya ada novel Karnoe. Novel yang ia tulis, novel yang tak laris itu.
“Silakan duduk, Nak.”
Selama hidupnya, selain Asrul dan Zenna, tak ada yang pernah memanggil Joven dengan sapaan Nak.
“Saya sudah baca novel kamu. Keren!”
Tak sanggup Joven menyembunyikan senyumannya. Kalimatnya setelah senyuman itu, tak ada lagi yang terbata-bata.
“Kamu sudah lulus?”
“Belum, Pak. Sepertinya saya telat, semester depan, semester sembilan. Itu juga kalau lancar-lancar saja.”
“Apa rencana kamu setelah lulus?” tanya Rhenald Kasali.
“Belum tahu, Pak. Mungkin daftar kerja. Di kampung, di pabrik semen atau bank daerah. Kalau di Jakarta mungkin ke perusahaan multinasional atau konsultan atau apalah yang cocok dengan jurusan saya ekonomi manajemen.”
Prof. Rhenald Kasali angguk-angguk sambil tersenyum. “Great!” Ia mengeluarkan sebuah buku. Judulnya Change!
“Wah, saya sudah baca buku itu dari dulu, Pak!” kata Joven antusias.
“Oh, sudah? Kalau begitu yang ini saja.” Rhenald Kasali mengeluarkan buku lainnya. “Ini sudah baca?”
Joven menggeleng. Judulnya Camera Branding.
Nak Joven, pekerjaan jadi penulis adalah hal yang menyenangkan. Kamu bisa mengubah hidup seseorang menjadi lebih baik, bahkan mengubah dunia.
Rhenald Kasali menulis itu di lembar pertama, lalu membubuhkan tanda tangannya. “Ini buat kamu.”
Joven menerima sambil menyembunyikan gemetar di tubuhnya. Tak menyangka, ia dapat langsung buku ini dari penulisnya, di ruang kerjanya.
“Eits, tunggu.” Sang profesor menjulurkan novel Karnoe karangan Joven beserta sebuah pulpen.
“Tanda tangan juga dong, buat saya.” Rhenald Kasali tertawa renyah.
Joven ingat, seminar pertama novelnya ini hanya dihadiri enam orang. Dua ayah ibunya, dua temannya, satu orang entah siapa, dan satu panitia dari toko buku. Dari keenam itu, yang minta tanda tangan cuma satu orang, ya orang entah siapa tadi. Kali ini, orang kedua yang minta tanda tangannya justru tak tanggung-tanggung. Guru besar Universitas Indonesia. Profesor kenamaan.
Sebelum Joven pergi, sang profesor menyampaikan sesuatu. “Kamu bisa saja kerja, jadi profesional. Tapi ingat ini, Nak, di perusahaan besar, barangkali karir kamu akan bagus, gaji kamu tentu akan bagus. Tapi kamu jadi baut kecil, di sebuah mesin besar. Yang mudah ditukar, diganti-ganti kapan saja.”
Joven menelan ludah. “Ta… tapi ya itu, Pak. Novel saya tak ada yang beli. Tak mungkin jadi penulis. Ibu saya marah, masa jauh-jauh kuliah ke UI jadi penulis yang uangnya tak ada.” Joven menirukan kata-kata Zenna. Tentu Zenna akrab sekali kehidupan penulis, suaminya adalah wartawan. Uang masuk selalu pas-pasan, malah seringnya harus cari kerja tambahan.
“Itu dia, Nak, kita buktikan itu salah!” Rhenald Kasali memegang pundak Joven. “Yang kamu lakukan ini luar biasa. Membangun branding itu memang bertahun-tahun, belasan, puluhan tahun. Tidak bisa langsung hebat. Apa yang instan, yang cepat, maka akan cepat juga hilangnya.”
Joven masih mencerna apa yang profersor itu sampaikan.
“Kalau nanti lulus, dan kamu berubah pikiran, kamu datangi saya. Kerja, ikut sama saya. Jadi asisten seperti Timmy. Kamu bisa terus menulis, nanti kita tukar pikiran setiap hari.”
“Ba… baik, Pak.”
Sebelum pergi, Rhenald Kasali menyerahkan satu hadiah lagi. “Ini pulpen saya. Kamu pakai ya.”
Joven menyimpan pulpen itu baik-baik, seperti menerima sebuah harta karun. Seperti menerima tongkat sakti milik pendekar terkuat.
Waktu berlalu. Joven wisuda.
Di tangan kanannya, sebuah surat kontrak kerja. Perusahaan bagus, gaji bagus. Zenna pasti akan senang.
Namun di hatinya, sesuatu yang lain memanggil-manggil. Saat sedang wisuda itu, saat sedang berfoto keluarga, seorang dosen tampak mendekat dengan toga agung milik seorang guru besar.
“Prof.” Asrul menyalami, memberi hormat. Zenna pun menyusul menyalami.
Orang-orang di sekitar mereka mengerubungi sang profesor. Ia sangat terkenal seantero negeri, ingin berfoto. Tapi sang profesor tak menggubris.
“Orangtuanya Joven?” tanya Rhenald Kasali tersenyum kharismatik.
“Be… benar, Prof.” Asrul mengangguk, mengeluarkan nada rendah.
“Anaknya ikut saya dulu ya! Biar saya marah-marahin.” tawa sang profesor riak-riak.
“Wah siap, Prof!” Asrul mengangguk makin kencang.
Kini tatapan mata kharismatik Rhenald Kasali menghunus pada mata Zenna. “Sampai jadi hebat nanti anaknya.”
Zenna yang sejak semester delapan tak pernah benar-benar mengizinkan Joven untuk menjadi penulis, sore itu luluh. “Tolong, tolong dia ya, Pak.”
Saat makan malam selepas wisuda, Joven tersenyum lebar pada Zenna. Ia kibas-kibaskan ijazahnya, ia naik-naikkan alisnya.
“Kalau sama bapak profesor itu, wah, tidak menulis saja yang dia ajarkan. Berbisnis, jadi konsultan, jadi orang bisa bicara di depan umum pasti hebat juga itu. Sudahlah, ikut saja.” Asrul ikut mengompori Zenna.
“Aku seperti tersihir melihatnya.” Zenna mengiakan. “Tapi ingat ya, kamu kalau ikut bapak itu, kerjanya yang benar. Jangan bikin malu! Harus serius kerjanya. Dia orang hebat itu.”
Joven berdiri seperti tentara, memberi hormat.
Usia 24 Tahun
Joven hendak menikah, tapi uangnya tak banyak. Bahkan jauh dari cukup. Jauh sekali untuk bahkan mengadakan pesta pernikahan sederhana.
“Tak mungkin jadi asisten dosen terus. Royalti novel juga tak seberapa. Aku harus cari pekerjaan yang lain. Tak masalah tertinggal sedikit dari teman-temanku,” curhat Joven.
Ia pun menelepon Zenna. “Ya mau bagaimana lagi, sudah dari dulu Ibu bilang. Tak usahlah jadi asisten itu, sekarang terlihat kan buktinya, tapi ya tak apalah. Ada saja pasti nanti gunanya belajar ke Prof. Rhenald.”
Joven mulai mengirim-ngirim lamaran kerja. Namun, jalannya untuk masuk dunia korporasi sepertinya selalu dijegal semesta. Dunia seakan melarangnya, lewat jari-jari, dan lewat tawaran-tawaran tak masuk akal.
“Joven, saya Riri Riza.” Tiba-tiba ponsel Joven berdering. Tepat saat ia baru mengunjungi sang calon istri ke kos-kosannya. “Saya mau ajak kamu casting, Joven. Untuk film baru saya, judulnya Humba Dreams.”
“Riri Riza? Yang sutradara AADC dan Petualangan Sherina itu?” selidik sang calon istri.
Joven mengangguk. “Tapi apa urusannya ya? Aku kan tak pernah akting, tak pernah mendalami dunia itu.”
“Sudah ikut sajalah casting. Mana tahu diterima.” Sang calon istri tak bisa menyembunyikan rasa senangnya yang ikut membuncah.
“Wah, kalau dengan Mas Riri Riza ini, aktor laki-lakinya kan sekelas Nicholas Saputra. Aku pasti tidak lolos,” Joven meragu.
“Coba aja dulu.”
Joven pun datang. Ia menerima sepotong naskah. Ngobrol sana-sini, dan ia pulang. Seminggu kemudian, ia kembali lagi. Selama seminggu itu, sang calon istri yang menemani, bermain peran, membantu Joven latihan menghafal naskah. Berbagai proses casting dijalani, berhari-hari, berminggu-minggu, datanglah kabar baik itu.
“Joven, kamu lolos casting!”
Mereka berdua melompat. “Wah, siapa ya lawan mainnya? Pasti aktor terkenal.”
Saat Joven datang lagi ke sana, ia makin kaget. Tempo hari, ia hanya menerima sepotong naskah. Ia mengira hanya akan jadi pameran sampingan.
“Wah, Mas, ini kok seluruh isi naskahnya nama tokoh saya semua ya? Hampir 80%.” tanya Joven.
“Ya itu kamu saya casting memang untuk tokoh utama, Joven.”
Joven mematung mendengar itu.
Proses syuting pun berjalan. Joven dapat pengalaman baru yang sangat hebat. Uang untuk pernikahannya pun terkumpul. Namun ada satu yang tak kalah penting dari proses ini semua; ia belajar dari guru baru, cara menulis cerita yang membuat pembaca terpukau.
Usia 26 Tahun
“Kami pamit dulu,” kata Zenna pada menantunya. “Sepatunya jangan lupa dipakai ya, Nak.”
Istri Joven mengangguk. Bisa-bisanya ia dibelikan sepatu oleh ibu mertuanya.
Zenna dan Asrul pun pergi, terbang ke Padang. Kemarin, anak bujang mereka menikah. Sepanjang perjalanan, mereka saling mengusap punggung, juga mencium tangan dan pipi masing-masing. Setiap usapan, setiap kecupan, seperti mengingat-ingat kejadian dan semua perjuangan untuk membesarkan Joven yang waktu kecil dadanya tersiram air panas itu.
Tiga hari di rumah mertua, Joven pergi membawa istrinya. Giliran mereka yang pamit.
Waktu berlalu, satu tahun usia pernikahan. Uang dari film itu sudah habis dari kapan waktu. Kini, hanya ada pemasukan kecil-kecil dari Joven kerja sampingan menulis untuk perusahaan, juga dari istrinya yang jadi guru.
“Sudah menulis tujuh novel, tak ada yang laris. Semuanya berakhir di gudang. Aku berhenti sajalah ya, gantung pena?” tanya Joven pada istrinya pada malam yang sendu, di rumah sederhana yang mereka kontrak.
“Kalau dari menulis saja, takkan bisa kita hidup. Aku fokus kerja saja.”
“Jadi asisten lagi?” tanya istri Joven.
Joven menggeleng. “Sudah dua tahun aku berhenti jadi asisten, pasti ada anak baru yang mengisi posisi itu.”
“Bukannya Prof bilang kamu datang kapan saja pasti diterima?”
Joven menggeleng makin keras. “Asisten dosen gajinya tak besar. Kalau kita punya anak, tak sanggup kita membiayai dengan gajinya. Aku jadi menyesal pernah membuang surat dari perusahaan yang lama itu.”
“Hush, jangan begitu.” Sang istri memeluk Joven. Mengusap kepalanya. Ia tahu, di dalam dada Joven sedang remuk, sedang ada ketakutan yang membara.
Hidup mereka sangat pas-pasan. Jika dibanding teman-temannya, Joven jauh tertinggal. Teman-temannya itu ada yang sudah level menengah, bahkan ada yang jadi manager di tempat kerja masing-masing.
“Coba kasih kesempatan satu kali lagi? Novel ke delapan ini? Bagaimana? Kalau tidak juga, gantunglah penamu itu,” usul sang istri.
Joven mengangguk. Setelah doa yang panjang dan tangis yang berliter-liter, ia buka kembali laptopnya. Sesekali, saat ada uang lumayan, ia pergi ke kedai kopi. Tapi ia malah memesan jus mangga.
Saat menyeruput jus mangga itu, seseorang duduk di sebelah meja Joven. Orang itu mengangkat topinya, membelalakkan matanya, seperti kenal dengan Joven. Rupanya salah orang, ia tak kenal. Namun, Joven tahu sekali dengan orang ini.
Dia adalah Raditya Dika. Seorang penulis muda, sutradara, dan komedian terkenal.
Joven lanjut menulis, tak mau mengganggu, tak mau sok kenal.
Hari kedua, ia datang lagi menulis ke sana. Rupanya Raditya Dika juga datang lagi ke tempat yang sama. Kali ini ia memperhatikan Joven lebih lama. Dari layar laptopnya, jelas sekali terlihat Joven sedang menulis.
Hari ketiga, persis sama kejadiannya. Dari semua keganjilan di dunia ini, inilah yang paling ganjil; bisa bertemu Raditya Dika tiga hari berturut-turut di tempat yang sama.
Joven masih tak mau menyapa, takut mengganggu, takut sok kenal. Namun justru orang itu yang menyapa Joven duluan.
“Lo ngapain di sini? Nulis juga ya?” Raditya Dika menyapanya.
“Eh iya, Bang. Waduh, dari kemarin gue udah mau sapa elo, gak tahunya di sapa duluan. Jadi ga enak.” Joven sok segan.
Mereka mengobrol akrab, bertukar pikiran soal cerita. Lama-lama, Raditya Dika menawarkan pekerjaan sambilan untuk Joven. Lama-lama, ia penasaran pada naskah yang Joven kerjakan.
“Kami (Bukan) Sarjana Kertas?” Raditya mengangguk-angguk. “Dari judulnya menarik. Tapi kalau menurut gue, ini bagian pembukanya agak kaku. Terus karakter Ogi ini, agak kurang kuat.”
Ia pun mengeluarkan kertas dan pulpen, mencoret-coretnya. Beberapa pengetahuannya soal menulis, ia curahkan ke Joven.
Dari pertemuan-pertemuan kecil di kedai kopi itu, Joven menyerap banyak ilmu baru. Jurus Rhenald Kasali satu sendok, jurus Tere Liye satu sendok, jurus Riri Riza satu sendok, dan jurus Raditya Dika satu sendok. Ia aduk-aduk, ia racik jadi satu, ia tambahkan satu sendok jurus Asrul, dan Joven tuangkan sebaskom jurusnya sendiri. Maka muncul jenis tulisan baru. Yang dunia barangkali belum pernah melihatnya.
Usia 28 Tahun
Novel Kami (Bukan) Sarjana Kertas itu terbit.
Di dalam perut istri Joven, ada bayi perempuan yang sedang bersiap lahir ke dunia. Maka, saat novel ini terbit, ada doa tiga ibu yang mendorongnya ke langit.
Pertama, Zenna, Ibu Joven.
Kedua, ibu mertua Joven.
Ketiga, istri Joven sendiri, yang juga segera jadi ibu.
Doa tiga ibu dan malaikat pun segan. Tak ada yang bisa menghambat doa itu tembus ke singgasana Sang Maha Pasti. Bak jalan tol, nasib novel kedelapan ini tak pernah Joven sangka-sangka. Hanya dalam satu menit saja, terjual seribu lima ratus eksemplar. Mengalahkan novel pertamanya yang bahkan lima ratus saja tak habis hingga sekarang.
Dalam dua minggu, novel itu berjejer di rak best seller seluruh Indonesia. Bulan-bulan selanjutnya cetak ulang tak henti-henti. Warna sampulnya kuning mentereng, orang-orang tertarik membacanya.
Pada bulan keempat terbitnya novel itu, anak pertama Joven lahir. Foto pertama dari bayi mungil itu Joven kirimkan pada Zenna dan Asrul.
“Novelnya laris, dahsyat! Di mana-mana orang membicarakannya!” kata Asrul. Ia menepuk-nepuk dadanya sendiri. “Siapa itu bapaknya?”
“Itu rezeki cucuku yang baru lahir itu.” Zenna lalu menengadahkan tangannya, mulai berdoa.
Umur 30
Joven termenung panjang. Dua tahun lagi Asrul masuk usia pensiun. Setahun setelah itu, Zenna pula yang pensiun.
“Sudah belasan novel tapi tak satu pun yang aku tulis tentang mereka.” Joven menunjuk foto ayah dan ibunya.
“Tulislah kalau begitu.” Sang istri mendorongnya untuk menulis.
Joven pun mulai mencari mesin waktu. Telinganya jadi tempat yang baik menyerap cerita-cerita masa lalu, dari banyak orang.
Waktu berlalu, cerita terus ia tulis. “Tapi aku belum bertemu judulnya.”
“Hmmm apa ya? Nanti pasti terpikirkan. Tulis saja dulu. Oh iya!” Istri Joven berdiri. “Tadi ada paket. Dari Padang.”
“Mungkin lauk?” tanya Joven.
Istrinya menggeleng. Ia mengguncang-guncang kotak itu. “Kalau lauk, tidak begini bunyinya. Pasti bungkusnya juga beda.”
Joven membuka kotak itu. Tampak tulisan TOKO SEPATU JUWITA. Ia angkat sepatu itu sambil geleng-geleng, dan sebuah kertas terjatuh dari sana. “Jelek sekali sepatumu sekarang, kan? Dari lulus kuliah tak pernah ganti.”
Kenal sekali Joven dengan tulisan tangan itu. Tulisan tangan Zenna.
“Ah, aku sudah tahu judulnya!”
“Apa?”
“Dompet Ayah, Sepatu Ibu.”
Mereka tatap-tatapan, lalu tertawa lepas.
Terima kasih Apa KJ, terima kasih Ama EZ.
Salam, anak kalian.
Jombang Santani Khairen.